Monday, December 22, 2008

Apakah Starbucks Sudah Mulai Menggeser Kelasnya?

Apakah Starbucks Sudah Mulai Menggeser Kelasnya?

Pagi ini, pulang sehabis nongkrong dari Starbucks Coffee FX Sudirman, Jakarta menghasilkan satu pelajaran berharga tentang bisnis yang digeluti oleh Starbucks. Bisnis cantik, kemasan menarik, dan sebuah budaya negara Starbucks sepertinya sedang kita nikmati tatkala kita memasuki pintu yang disampingnya biasanya terpampang sebuah neon box berwarna hijau yang lebih dominan dibandingkan warna hitam dan putih di tengah bulatan yang sudah sangat familiar di mata kita itu.

Pertama saya ke Starbucks beberapa waktu silam, saya yakin tempat ini bakal dipadati orang-orang metro kelas menengah ke atas, demi untuk sebuah kopi seharga 30ribuan lebih. Saking rajinnya sampe saya tahu betul, beverages (minuman/kopi) termurah di Starbucks adalah Iced Caffe Americano yang tak lain dan tak bukan adalah satu cup kopi hitam, yang apabila kamu beli atau bikin sendiri cuman bermodal 1000perak, sementara di sana kita jumpai dengan harga bandrol 19ribu rupiah.

Apakah niat orang-orang yang beli kopi di sana hanya dengan niat “DEMI”, atau cuman gengsi yang sudah mengakar jadi sebuah budaya? Sama mungkin alesannya dengan kata-kata teman yang bertanya : “kamu tahu resep cara untuk bikin chicken wing yang dibuat Pizza Hut?”. Itulah jawabannya, konspirasi-konspirasi media telah mempengaruhi pikiran hampir kebanyakan orang tentang sebuah rahasia yang tidak bisa dilakukan publik, padahal pada kenyataannya bisa, orang mampu membuat hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Starbucks, yang menjadikan mereka sanga eksklusif. Cuman mereka lebih cepat menemukan hal-hal penting seperti ini.

Inilah bisnis, kejam, cepat, egois, dan cantik seperti yang saya bilang tadi. Mereka mengemasnya dengan strategi. Banyak media diliriknya, banyak cara dilakukan, banyak kerja sama yang ditandatangai, banyak orang yang ikut bergabung, banyak janji janji yang sangat menggiurkan, banyak layanan yang ditawarkan secara serius.

Lalu, apakah pernyataan bahwa Starbucks hanyalah untuk kelas menengah ke atas saja? Saya berpendapat justru lebih kompleks, dan bermacam-macam. Apalagi menurut pengalaman yang saya alami, bukan berarti pernyataan saya tentang menggeser kelasnya dimaksudkan ada golongan bawah dengan baju compang-camping datang ke sana, trus duduk-duduk trus tiba-tiba dateng ke kasir mesen satu buah Iced Caffe Latte, bukan begitu maksudnya. Kalaupun ada, mungkin sebelum masuk sudah ditanya dulu oleh karyawan starbucks yang kebetulan lagi beres-beres meja kursi deket pintu masuk.

Tapi, kelas itu bisa ditutupi atau disiasati dengan penampilan si pengunjung, seorang aktor hebat yang tidak bisa diterka dari golongan mana mereka datang? Budaya-budaya seperti itu telah menolong Starbucks menjadi tetap eksklusif di mata orang. Tidak ada gembel masuk sana, tidak ada pemulung ngopi-ngopi di pojokan sambil internetan di laptopnya.

Apakah kita akan terus seperti itu, digerogoti budaya yang bukan budaya kita sendiri? Kita seakan bangga datang ke sana dengan penampilan ok, cuman dengan satu cerita sedih duit untuk beli kopi adalah tabungan selama 1 minggu? Artinya, tidak semua yang kita lihat di Starbucks adalah seorang yang bermateri menengah ke atas. Tapi, kalo kita sadar dengan diri kita sendiri, kita akan tahu siapa yang bodoh, siapa yang pintar, siapa yang lebih cepat, dan siapa yang lebih berhasil membuat image baru tentang culture kelas-kelasan.

In The Bottom Of Line :

“Starbucks Sudah Lama Sebetulnya di Kunjungi Oleh Orang-Orang Dari Berbagai Kelas, Atas, Menengah, Bahkan Bawah. Tapi Starbucks Telah Mampu Meng-Image-Kan Diri Menjadi Sebuah Tempat Nongkrong Kelas Menengah Atas, Hanya Karena Orang-Orang Telah Dengan Sibuknya Mencari Gengsi Untuk Tampil Tidak Apa Adanya.”

Post a Comment

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search